Wednesday, June 6, 2007

CORETAN KEDUAPULUH

Yang aku ingat dari kau adalah senyum keterpaksaan. Padahal bibirmu lebar. Kalaupun kau mau tersenyum secara wajar, maka yang terlihat adalah sebuah kesempurnaan yang sebenar-benarnya. Tapi aku tidak melihat ketulusan itu?

Yang aku ingat dari kau adalah sorot mata yang selalu redup. Padahal aku tahu sekali kalau matamu bisa melebar kapan pun kau mau. Tapi kau tidak pernah melakukan itu. Yang selalu terlihat di mataku, seolah-olah kau ingin mengabarkan bahwa hidupmu begitu menderita. Dan aku sama sekali tidak tau, apakah kau serius atau tidak?

Yang aku ingat dari kau adalah kepala yang selalu tertunduk. Padahal kepalamu bisa kau angkat setegak mungkin. Entah apa yang kau pikirkan saat menunduk itu, apakah kau merasa lebih baik menunduk daripada mendongak. Atau sebaliknya. Entahlah!

Yang aku ingat dari kau adalah langkah kaki yang tidak bisa pelan. Padahal kakimu tidaklah begitu panjang. Aku tidak tahu apa yang sedang kau kejar sehingga langkahmu begitu arogan karena berusaha mengalahkan angin. Mudah-mudahan aku salah dalam menilaimu!

Yang tidak pernah aku ingat dari kau, adalah citra hatimu yang beku. Tapi sudahlah, kau mungkin lebih tahu tentang hal ini?


2005
Selanjutnya..

CORETAN KESEMBILANBELAS

Gelas itu berbusa. Belum kering benar. Isinya hanya beberapa mililiter air yang malas untuk dihabiskan. Puntung rokok aku masukkan ke dalamnya. Warnanya makin kuning kecoklatan. Berbaur-baur dengan busa yang belum kering benar.

Waitress cantik semampai datang. Menyorongkan pelepas dahaga. Aku menciuminya dalam batin. Aku tertawa mengikuti mereka yang mulai terbahak, terkekeh, tersenyum lebar. Padahal entah apa yang lucu di mataku sampai rasa geli itu membuat mataku berair menahan air mata yang ingin menetes.

Bulan tidak lagi bulat penuh. Sinarnya tertutup mendung. Sepertinya mencoba menjadi latar belakang kegundahgulanaan wajahku.

Tai kucing dengan perempuan. Tapi malam itu lonte kelas teri malah menertawaiku mencoba memberikan sapuan kenikmatan di sekujur tubuhku. Aku terdiam karena ragu. Aku tidak peduli walau lonte itu kini telanjang batin di depanku. Di mataku, tubuh itu ibarat seonggok daging yang tidak lagi segar. Bau busuk menyengat bukan kepalang.

Fajar subuh tersungging di timur jauh. Aku lunglai. Sopir taksi baik hati itu mau mengantarku pulang.


2005
Selanjutnya..

CORETAN KEDELAPANBELAS

Suatu sore yang muram, aku menyusuri Mangga Besar. Ada aroma khas yang tercerap menusuk-tusuk lobang hidungku. Sebuah aroma yang sulit untuk dijabarkan lewat kumpulan huruf. Sebuah citra yang sulit ditemukan tandingannya.

Aku masuk ke sebuah gang. Salah seorang teman pernah bilang; “Kalau ingin cari Cina ngumpet, di Mangga Besar tempatnya.”

Melewati rumah berdempet-dempetan, aroma khas itu makin santer. Hidungku bahkan tak mampu lagi untuk merasakannya. Aku terbatuk. Ludah kusemprotkan ke dinding rumah yang seperti tidak berbatas.

Jalanan tidak begitu becek. Padahal sewaktu busku berhenti di Lokasari, hujan begitu derasnya. Berhamburan menumpahkan titik-titik air ke pori-pori aspal yang terkoyak.

Aku mengetuk pintu rumah. Perempuan Tionghoa berwajah keriput menyembul di balik pintu. Bertanya tegas tanpa ekspresi, entah karena logat Tionghoa-nya yang begitu kental atau karena wataknya yang seperti itu.

“Mona.” Kata itu yang keluar dari mulutku. Perempuan Tionghoa berwajah keriput itu bergerak-gerak. Alisnya terangkat. Aku kira dia akan marah. Tapi aneh, dia tersenyum ke arahku.

Aku melangkah pelan. Berdiri mematung di depan pintu kamar kost Mona. Ragu-ragu untuk mengetuk. Aneh, sepertinya Mona tahu kalau aku akan bertandang, dia menyingkap gorden pintu kamarnya yang dilapiri kaca bening. Wajahnya tertutupi mukenah. Sepertinya dia baru saja bercengkerama dengan Tuhannya.

Tuhan, aku yakin Engkau mengizinkan Mona menjadi pelacur.


2005
Selanjutnya..

CORETAN KETUJUHBELAS

Tujuhbelas. Entah kenapa kata itu begitu sakral dan magis. Padahal itu hanyalah deretan angka yang tidak bermakna apa-apa. Hanya sekelebatan momen yang tercipta oleh sejarah. Yang selalu merasa terpukau peristiwa.

Tujuhbelas. Entah kenapa kata itu begitu adiluhung memancarkan kewibawaan. Kedewasaan. Hak kewajiban. Masa depan. Penentuan sikap. Baik buruk. Hari baik. Tanggal keramat. Kilas balik. Angka mujur. Undian togel. Tanggung bulan.

Tujuhbelas. Entah kenapa kata itu begitu dikultuskan. Padahal itu hanyalah faktor kebetulan belaka. Mengisi peristiwa yang layak untuk dipertontonkan di muka umum. Pengangkatan derajat kemanusiaan yang katanya akan jauh lebih beradab.

Tujuhbelas. Entah kenapa kata itu begitu menggema. Sebagai kata kunci atas nama sebuah slogan bernama persatuan. Paguyuban. Saling menghormati. Tidak adanya ketertindasan. Meredeka!!!

Tujuhbelas. Entah kenapa kata itu meluncur dari bibirku sebanyak lima kali.


2005
Selanjutnya..

CORETAN KEENAMBELAS

Adalah cerita yang turun temurun terjadi dan terus diceritakan. Baginda raja tidak melulu harus berbuat benar. Cacat baginda raja harus selamanya ditutupi. Dayang istana harus patuh dan menuruti semua kemauan baginda raja. Entah itu kesepakatan atau tidak, yang jelas itulah yang terus menerus terjadi. Faktanya memang jelas, bahwa penguasa memang penindas bagi yang dikuasainya. Goblok!!! Hukuman seberat apapun akan mudah dijatuhkan jika baginda raja menghendakinya. Intrik sekasar apapun akan mudah diciptakan jika baginda raja tidak menyukai sesuatu. Jangankan memecat, membunuh pun akan dengan mudah dilakukan baginda raja jika dia berkehendak. Kata-katanya adalah hukum yang pasti, yang seolah-olah itu semua meluncur dari mulut sang pencipta. Lalu terdengarlah lolongan ketidakpuasan yang menggidikkan bulu roma. Mereka yang tidak punya kuasa apa-apa hanya terdiam pasrah. Namun ada juga yang mencoba menentangnya, tapi pasti umur si pembangkang itu tidak akan lama. Orang kecil hanya bisa pasrah karena mungkin itulah takdir yang harus diterimanya. Prajurit juga tidak bisa berbuat banyak untuk menyikapinya, hanya patuh dan tunduk. Quran, injil, taurat, zabur, dan semua kitab-kitab suci dari langit hanya menjadi hiasan bagi baginda raja. Risalah-risalah keteladanan sama sekali tidak dihiraukannya. Semuanya membisu!!! Tak ubahnya seonggok pinggan cantik yang harus dipandang dari kejauhan. Untuk melengkapi indahnya semua kemewahan yang terpampang. Vok populi vok dei, suara rakyat adalah suara tuhan. Wahai pencinta abadi, aku hanya melihat engkau menangis di kejauhan. X zona membentang di hadapanmu. Yang terus menggerogoti, yang terus merongrong. Zaman sebentar lagi akan berakhir.


2005
Selanjutnya..

CORETAN KELIMABELAS

Mimpi. Aku tertawa jika mendengar kata itu. Bagiku itu semua adalah manifestasi dari harapan. Aku lantas ingat salah seorang teman pernah bilang bahwa tidak akan ada sesuatu jika tidak diawali tanpa mimpi. Klise memang!

Ah, begitu indahkah mimpi menjelma menjadi nyata?

Mimpi. Aku menangis jika mendengar kata itu. Bagiku terlalu miris jika semua mimpi di kepala akan terburai sebelum menyentuh tanah. Jauh panggang dari api. Antara harapan dengan kenyataan tidak pernah menemui titik temu. Klise memang!

Ah, begitu dahsyatkah mimpi menjelma menjadi realita?

Mimpi. Aku terdiam jika mendengar kata itu. Bagiku terlalu sedih manakala hidup yang sebentar ini terus menerus terkuras demi sebuah mimpi yang tak kunjung hadir. Alangkah nikmatnya hidup tanpa mimpi. Alangkah bahagianya jika mimpi itu tidak melulu hadir setelah tidur. Lalu terbangun dengan keringat dingin di sekujur tubuh karena buruknya mimpi.

Ah, begitu bermaknakah kata mimpi?


2005
Selanjutnya..

CORETAN KEEMPATBELAS

EXT. ASRAMA. HALAMAN - MALAM
KASIH duduk sendirian di bangku halaman asrama.. Merenung. Wajahnya bersedih. BAGAS datang, duduk di sebelah KASIH. Sama-sama terdiam. Hingga..

KASIH : Umurku nggak akan panjang, Gas..
BAGAS : Kasih.. Kamu jangan ngomong kayak gitu dong..
KASIH : Tapi penyakitku sudah parah, Gas..
BAGAS : Itu kan cuma prediksi dokter. Semuanya masih bisa salah. Dan kematian.. hanya Tuhan yang tahu..
KASIH : Keinginanku hanya satu, aku ingin mempersembahkan sesuatu yang terbaik di akhir hidupku..

Keduanya kembali sama-sama terdiam.

BAGAS : Kasih.. Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan sama kamu.. (PAUSE) Aku sayang kamu.. aku nggak ingin kamu mati. Aku ingin kamu selamanya terus hidup.
KASIH : Jangan Bagas.. jangan cintai aku..
BAGAS : Aku akan menerima kamu apa adanya.. Bagiku, kamu perempuan tegar yang pernah aku kenal.. Kamulah orang yang telah mengubah hidupku..
KASIH : Tapi umurku nggak akan lama lagi, Gas..
BAGAS : Kamu cinta pertamaku, Kasih.. Aku nggak peduli umur kamu masih lama atau nggak..

KASIH makin sedih. Kemudian memeluk BAGAS dengan hangat..

KASIH : Aku juga sayang kamu, Bagas..

Mereka berpelukan dengan penuh kasih sayang..

CUT TO:

Akulah rasa. Memendam peri yang terus bergelayut mesra di bahuku. Sampai kapan cinta itu akan terus bersemayam, menjadi fosil yang terlalu sulit disempurnakan.

Sekali lagi, apakah semua itu akan abadi?


2005
Selanjutnya..

CORETAN KETIGABELAS

Romawi jatuh di hari jumat tanggal tigabelas. Lantas aku mengingatmu wahai dewiku. Aku terkenang saat wajahmu pucat pasi manakala aku memelukmu. Dan aku merasa bersalah saat kau menuduhku sebagai lelaki berkarakter kuat.

Aku tidak menginginkan kau jatuh seperti Romawi di hari jumat tanggal tigabelas. Lantas aku memberimu sebuah rasa wahai dewiku. Kemudian pancaran bola matamu sedikit meredup. Dan andai saja tidak ada mentari dan purnama, aku tidak bisa membayangkan gelapnya dunia ini tanpa tatapan bola matamu.

Seandainya Romawi tidak jatuh di hari jumat tanggal tigabelas, aku akan tetap merasakan kau terus tersenyum. Lantas bersenandung kidung ragawi yang indah wahai dewiku. Kemudian bercengkerama di teras rumahmu yang rindang. Dan menghitung gemintang yang bertebaran di kejauhan.

Sayang sekali Romawi harus jatuh di hari jumat tanggal tigabelas. Lantas sorot matamu hanya tertatap dari kejauhan wahai dewiku. Kemudian kau menggeliat bangun. Setelahnya kau akan pergi untuk terus menjauh. Dan aku khawatir, dunia akan selamanya gelap jika sorot matamu benar-benar padam.


2005
Selanjutnya..

CORETAN KEDUABELAS

Mawar...
Yang aku lihat hanyalah sekelopak serpihan lemah tiada daya. Wahai, aku tidak melihat ketakjuban tiada tara yang muncul menyerbukkan keharuman. Hanya itu, menyebar mewangi melintasi dahaga penjiwa-penjiwa yang tenang. Menelusuri para pencari titian yang terus berbondong.

Api...
Mahabbah terlecut atasnya. Gemuruh detak jiwa yang tiada henti memancarkan semburat makna ruhaniyyah. Akulah ada. Merindukan kecupan manis yang terus terlontar tiada henti. Maka adalah Aku. Bersemayam di dalam api yang tiada henti padam. Menyenandungkan percikan bunga api yang terus berkelebat.

Kursi...
Berdekatan mendekap erat rasa bahagia. Bersenandung di hamparan empat penjuru. Bergelantungan di tiang kedamaian hakiki. Wahai para salik, dudukilah selayaknya kau mereguk kenikmatan. Bercumbu dengan Kekasih Abadi yang aromanya tidak pudar ditelan masa.

Nur...
Lihat! Aku tidak kuasa memandang. Buta mataku melihat terpaan bilar-bilar silau yang terus berpendar tiada henti. Percikan sinar terang memancar menerawang membelah sukma. Wahai yang bersemayam di ragaku, aku tidak tahan melihat kemilauMu.


2005
Selanjutnya..

CORETAN KESEBELAS

Masih bernama kehampaan. Dan, cerita cinta itu terus tergulir membanjiri setiap mata. Semua terkabar lewat tetesan air bening sebesar biji kedelai hitam yang membuncah tiada henti.

Curahan demi lelehan menguap mengirup udara kotor. Lalu ditumpahkan mengiring hujan dan salju di musim kemarau.

Semua bersambungan. Semua berpegangan. Semua bersinggungan. Semua ingin menetap mereguk sumsum mahabbah.

Titian itu terlihat jauh. Membentang di depan pelupuk ‘ain. Menjauh memunggungi pundak. Matra istighfar, matra salawat, matra tahlil, dan matra nafs al haqq. Bagai air penghilang dahaga.

Adakah titian itu semakin mendekat, sehingga tubuhku meluncur menjauh?

Di keremangan senja; kehampaan, mahabbah, titian, matra penyucian, meletup-letup mengaliri darah.

Abadi?


2005
Selanjutnya..

Saturday, June 2, 2007

CORETAN KESEPULUH

Jika kematian masih kau anggap duka. Kedukaan macam apa yang bergelayut sampai kau merasa peri tidak mampu membuyarkan cita. Sampai kau mencerca lara bagian terburuk sebuah takdir.

--- di hari kelahiran begitu deras hujan turun.

Dan ini Oktober, mengulang rutinitas bersahabat mendung hujan hujatan udara lembap dingin menggigil tetesan air ritus kehampaan. Jika sekarang masih terlintas, kematian hanyalah nostalgia

Kau tidak boleh menangis, Zannuba. Hujan belum reda, dan kereta yang membawamu masih bersandar di stasiun kota. Senja akan mengantar menembus noktah terang di setiap persinggahan, lalu gelap terang bersahutan. Kau pun diam.

--- Aku titipkan anakku padamu. Mungkin suatu saat ia akan menjadi permata penghias leherku.

Senja makin sempurna. Peluit kereta mengiringi pergi. Dan stasiun akan memapahmu dengan sejuta harapan.

Dan aku masih mengingatnya ketika membisikkan kata cinta. Lalu hujan berhenti tepat tengah malam menjelang hari kelahiran.

(hari ini kereta akan membawaku ke Cirebon)

Dan kau akan terus bermanja di pangkuan ayahmu; “ini pacar Zannuba, Ayah.” sambil menyorongkan sehelai foto yang telah ditulisi mutiara indah. Dan ayahmu terus tersenyum dalam imajinasi.

(besok lusa kereta akan membawaku ke Jakarta)

2004
Selanjutnya..

CORETAN KESEMBILAN

Berdiri di persimpangan jalan dua delapan Oktober menjelang petang. Berhias sudut kota yang mulai ramai di ujung stasiun tua, lelah lokomotif tiupkan duka.

Masih mematung di perempatan jalan, mengakrabi senja berganti petang, bergulat rutinitas semu, berhala kehormatan atas nama uang.

Risau bergolak berkecamuk buta, untuk sebuah nama, sesobek puisi terkata, lalu terempas angin, ah… masihkah, naluri beriring berjalan.

Ini semacam pengharapan, nestapa hujatan kesedihan, dan matinya kehormatan, ah… mungkinkah, hati bicara secara nyata.

O… sedahsyat kutukan, yang melunakkan peri, oleh bujukan modernitas, ngeri kalut takut benci, galau itu belumlah tuntas.

Memasuki stasiun kota, muram senja melukis keinginan malam Jakarta. Seberkas senja di atap museum bersahutan bersenandung kerinduan. Mengilau tempa kebisingan. Berbaur padu silam komposisi temaram. Tapi, ah, itu bagian dari globalisasi.

Masih belum terlalu malam. Sementara ayam yang berkokok terlalu bosan melafalkan sendi kebudayaan. Stasiun kota masih terlalu kelam.

2004
Selanjutnya..

CORETAN KEDELAPAN

Sebagaimana rasa mencatatkan perih dalam lembaran jiwa. Mencoreng frustasi menggandeng ego mengantar dahaga.

: Masih ada esok yang terlampaui akal sehat, pun martabat dan segala etika kehormatan. Membaur satu-satu dengan tetek-bengek logika.

Sampai hari persembahan datang. Menjadi sejajar sisi gelap terang. Dan membulatnya cahaya malam. Dan menghilangnya noktah kelam.

“Selamat malam, tentu harimu akan terkuras bersama angin. Mencumbui kikisan keringat. Dan bersenandung dengan senja di sebelah stasiun kota tua yang mulai berhenti mengaum,”

: Mungkin esok tiada lagi nyanyian senja melantun. Berhias puisi indah, bersenandung lazuardi, dan berlembayung keperakan dalam hiasan cakrawala.

--- ah, sampai kapan kau melagukan tarian itu demi rasa dan cinta, yang tertelan genderang hidup bahkan semakin menghilang pudar terbujuk ombak yang terus mengajak berlabuh.

--- lantas kau berhenti menari, menghentakkan urat nadi atas nama rasa dan cinta yang tak berujung pangkal.

Dari sajak yang tertulis, aku kabarkan duka lewat canda. Menyanyikan kelam. Menyenandungkan tawa.

Duka itu akan hilang Zannuba. Ketika fajar menyingsingkan pergi dan malam membenam. Hapus air mata lara. Esok masih ada. Teruslah berjalan Zannuba.

2004
Selanjutnya..

CORETAN KETUJUH

Lagi-lagi kau menghampiriku seraya berkata: “Tolong sampaikan pada bulan kalau sebentar lagi saya akan datang.” Lantas kau juga buru-buru berlarian mengejar bintang seraya berteriak: “Nanti kamu akan saya tunggu di surga.”

Pernah kau tampar matahari sampai ia meredupkan sinar sesunyinya. Lalu kau pun pucatpasi karena genderang berhenti bertalu: “Kau juga belum mau mati, kan?” Kau tersenyum ke arahku dengan sunggingan memanis di antara bibir merah merekah, kemudian berulang seraya membingkiskan setangkai edelweiss yang sempurna dalam pot plastik yang juga putih.

Lagi-lagi kau mencumbuiku seraya berkata: “Kotamu bayang-bayang kemunafikan, sayang.”

Maaf! Mungkin aku belum belum sempurna menjadi Adam di hadapan Eva. Laksana Rama di sisi Devi Sita. Menebar keharuman atas nama cinta. Mencaci-maki cinta atas nama rasa.

Senja memerah dalam kabut sunyi galau terus menyeruak memuncak mencabik-cabik lazuardi di atas lembayung pekat.

--- ini hari bersenandungnya syair menerobos ruang batin mencampur dalam sebuah puisi. “Jangan khianati cintaku, wahai Zannuba.”

--- ini hari bersenandungnya hujan mengantar kota tua dalam keremangan mengikat rasa. “Jangan menangis, wahai Zannuba.”

Min ajli ainaika ‘asyiqtal hawa, ba’da zamanin kuntu fihil khali. (Dari bening bola matamu aku mengenal semerbak cinta setelah lama dilanda hampa dibuai langka)

2004
Selanjutnya..

CORETAN KEENAM

Senandung malam di sudut kota, perempuan berhasrat birahi “Alangkah cantiknya kamu malam ini,” begitu kata penjual rokok seraya menyorongkan geretan api ke kuluman mulut penuh tawa.

Hujan deras jalanan macet lelaki iseng petugas brengsek remang-remang lagu dangdut perek asu buntung hanya sisa ceban jiancuk!!!

Perempuan di dadaku bangkit dan kejarlah mimpi yang memuncak di pagi hari. Siang bakal menjelang. Sore menghampiri datang. Dan malam semakin membentang.

Perempuan itu lantas bangkit menantang menghadang mengharubirukan setiap mata lelaki yang tak luput memandanginya; ngeri. Dan perempuan itu terus saja mencemoohi ketololan lelakinya seraya menyumpah serapah tidak keruan.

“Iba hatiku melihat lelaki merengek seperti bayi yang kehilangan puting susu ibunya.”

Lalu kepada siapa perempuan yang bangkit dari dadaku sedikit merasa sebagai Eva di hadapan Adam.

Kembali perempuan itu bersenandung lirih:
Tentang lelaki yang melulu diperbudak rasa.
Tentang cinta yang mengharapkan eksistensi.
Tentang keabadian yang acapkali fana.
Tentang kita yang kehilangan norma.

2004
Selanjutnya..

CORETAN KELIMA

Masih dalam suasana kesederhanaan yang kupilih. Entahlah. Aku bosan atau benci terhadap semua yang berbau harta. Tidak cinta.

Aku masih mengingatnya ketika Nietzsche berkata bahwa cinta adalah topeng. Bagiku Nietzsche terlalu mengada-ada memperlakukan sebuah cinta dengan penyamaran. Sangat misterius. Untukku cinta adalah aku. Bersemayam dengan segala ketiadaan.

Dan malam ini, aku seperti sedang ingat ibuku. Aku merasakan tidak ada wanita yang terlalu dekat kecuali dia.

Aku rindu akan kemarahannya. Aku rindu akan kata-katanya yang membuatku selalu termenung. Aku rindu bau wangi mulutnya yang selalu tercium manakala membacakan al Quran untukku. Aku masih terus menginginkan percikan-percikan ludahnya memercik di mukaku ketika mengajari alif ba ta tsa.

Aku tidak menginginkan pujian dari siapa pun kecuali ibu. Itulah yang ingin aku tekankan kepada kalian.

Sudahlah, aku tidak ingin keadaan ini dikotori pikiran-pikiran buruk tentang cinta. Kekayaan. Wanita. Atau segala tetekbengek yang tidak ada hubungannya dengan kebahagiaan. Temanku pernah bilang: Al hayatu bila habibi, Kallaili bila qomari. (Hidup tanpa cinta bagai malam tak berbulan)

Nostalgia dengan segala keceriaan yang pernah terlontar. Ah. Adakah itu tetap menjadi bagian yang tidak terlewatkan dalam kehidupan hina ini? Mungkin. Sekali lagi mungkin. Dan bisa saja menjadi realita yang tidak pernah padam.

Kau saksiku!

2004
Selanjutnya..

CORETAN KEEMPAT

Semuanya bisa saja terjadi. Inilah yang ingin aku katakan kepadamu! Bahwa ini adalah sebuah permainan, yang mungkin menghantarkanmu menemui kebahagiaan. Atau kesengsaraan. Atau penyesalan.

Waktu. Itulah tumpuan yang menyesatkan jiwa. Semua diatur olehnya. Semua bertumpu padanya. Semua disertainya. Dan aku? Keinginan manusia adalah bahagia. Jika itu terulang maka timbul kedamaian. Jika itu terus dipersoalkan maka timbul kesengsaraan.

Semuanya pasti akan memikikirkan segala sesuatunya berdasarkan logika. Persetan semua itu. Persetan dengan segala tetek bengek yang berbau etika. Etiket. Sopan santun. Moralitas.

Sebab itulah segalanya menjadi rancu. Antara kasih sayang di satu sisi dan keberpihakan di sisi yang lain. Semuanya akan jelas dan terang dan gamblang ketika kita memahami bahwa itu sebuah permainan. Yang pernah kuutarakan dahulu lewat gumamanku:

aku adalah mainan
yang mudah digelindingkan
ke sana ke mari
ke depan ke belakang
ke kiri ke kanan
ke segala penjuru mata angin
maka nikmatilah

Itulah sebenarnya yang ingin aku utarakan sekali lagi kepadamu.

2004
Selanjutnya..

CORETAN KETIGA

Tidak perlu cinta diutarakan dengan kata-kata. Cinta adalah gerakan murni yang terlahir berkat adanya keinginan yang terloncat keluar dari sanubari yang meletup-letup. Setiap keinginan adalah cinta. Setiap hasrat adalah cinta. Setiap ketertarikan adalah cinta.

Setiap perlakuan itu adalah cinta yang sebenarnya! Aku muak! Aku tersadar! Diperhamba setan. Manusia. Binatang. Anjing!!!

Malam, entah pagi, yang sebenarnya biasa saja, terlalu dini untuk dikatakan melampaui batas. Sewajar-wajar keinginan memerlukan keberanian yang tidak dipaksa. Kewajaran itulah yang mendasari kebahagiaan.

Saat itu pun, aku sadar kebutuhanku. Keinginan terpendam yang terasa ingin meledak keluar. Hanya saja terbentur adat dan situasi yang sebenarnya tidak jelas dan tidak termengerti begitu saja.

Sejak dewi malam mengisi celah-celah nadi yang mulai longgar. Aku dihadapkan pada sebuah pilihan sulit yang menggemaskan. Fatamorgana kenistaan yang hampa. Keceriaan yang menyebalkan.

Entahlah. Sehari setelah semuanya jelas, aku mulai terbiasa dengan keterasingan. Sendirian. Atau tidak ingin ditemani. Barangkali inilah situasi sebenarnya.

Apakah ini yang dinamakan kasih sayang?

2004
Selanjutnya..

CORETAN KEDUA

Sehari setelah semuanya jelas, agaknya sangat ingin untuk terus bermanja dengan keadaan. Aku memang ingin agar kondisi ini tetap seperti semula. Apa adanya. Katakanlah tidak ada semacam jarak penghalang. Atau apalah namanya.

Mungkin saja. Dan itu sepertinya mungkin. Gampang. Sedikitnya aku mulai mengerti bahwa itu sebuah situasi alamiah yang tidak dibuat-buat. Wajar-wajar saja.

Keluar dari keadaan. Ya. Kadang-kadang terlontar pikiran seperti itu. tapi ketika berpikir ulang, ternyata tidak menyelesaikan kondisi yang sudah ada. Malahan mungkin melahirkan kekonyolan baru yang makin ruwet.

Ketika angin masih bertiup dan udara Jakarta belum mau bersahabat. Aku masih menemui kebosanan rutinitas yang menjemukan. Membosankan. Tak ada keistimewaan. Mungkinkah?

Ketika hari beranjak menuju masanya yang lain. Ketika itu pula sebuah keberanian semu muncul begitu saja. Ada kalanya sebuah keberanian yang dibuat-buat. Atau keberanian yang didorong kehormatan.

Situsi ini agaknya mulai terang. Walau kadang samar dan buram. Sebuah keinginan luhur tentang eksistensi cinta. Mahabbah. Seperti dorongan air mani yang sedang memuncak. Meluncur sedemikian rupa di pegunungan salju yang tipis.

“Aku tak butuh cinta.” katanya.
“Masalahnya, sekarang tak ada lagi kelemahlembutan gadis yang hadir dalam kesendirian.”
“Apakah seorang gadis dapat menawarkan racun kerinduan. Bisa pengharapan.”
“Semua itu mungkin terlalu pagi untuk dikatakan sebagai sebuah kesetiaan. Apalagi kecemburuan.”

2004
Selanjutnya..

CORETAN PERTAMA

Sore hari sejak semuanya jelas. Aku mulai biasa terduduk lemas di atas singgasana pengharapan. Terpaku dalam mimpi-mimpi tentang kehidupan. Menyesali keharuan yang tak kunjung mendekat. Menjauh. Atau bahkan menetap menghinggap.

Ketika senja menampak. Ketika segenap manusia menyantap karunia tuhannya yang tiada tara. Aku masih terbiasa memandang kesengsaraan yang belum juga pergi. Melihat segala kenyataan dengan kepicikan yang teramat jelas. Keraguan menyeruak datang. Teramat dalam.

Hari ini masih terpaku dalam kesendirian. Bermain dengan nyamuk. Ditemani sebatang rokok pemberian. Dan bermalam dengan kegerahan.

Ketika malam minggu mengumbarkan keangkuhan yang sengit. Ketika Jakarta di kala malam masih juga panas. Ketika semuanya masih membayangkan mimpi-mimpi semu tentang keabadian cinta. Persahabatan. Kasih sayang. Kesetiaan. Kecemburuan. Sunyi itu tetap ada dan terus menghinggap memperkosa jiwa.

Apa ada kesendirian yang bereinkarnasi keramaian. Dengan segala hirukpikuk keberisikan. Dengan keceriaan yang terkesan menarik. Dengan kecemasan yang hilang ditelan kerasnya Jakarta. Kotamu adalah bayang-bayang kemunafikan!

Akankah semua ini abadi?

2004
Selanjutnya..